Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, menggelar pelantikan rolling jabatan (mutasi) dua sekretaris KIP Kabupaten/Kota di Aceh. Pelantikan dan serah terima jabatan dipimpin oleh Sekretaris KIP Aceh, Drs Darmansyah, MM, di Aula KIP Aceh, Banda Aceh, Jumat 19 Juni 2020. Pelantikan dihadiri oleh para Komisioner KIP Aceh, serta pejabat di lingkungan KIP Aceh.
Mereka yang dilantik adalah Razali S,Sos, sebagai Sekretaris KIP Kabupaten Pidie. Pengangkatannya sesuai dengan Keputusan Sekjen KPU RI Nomor 303/SDM.05.5-Kpts/05/SJ/IV/2020. Sebelumnya Razali adalah Sekretaris KIP Pidie Jaya.
Selanjutnya yang dilantik adalah Iswandi, S.Sos, sebagai Sekretaris KIP Kabupaten Pidie Jaya, sesuai Keputusan Sekjen KPU RI Nomor 306/SDM.05.5-Kpts/05/SJ/IV/2020. Sebelumnya, Iswandi adalah Sekretaris KIP Pidie.
“Hanya rolling posisi jabatan di kedua KIP Kabupaten tersebut, harapan kami pejabat yang dilantik dapat bekerja dengan baik di tempat baru,” kata Darmansyah.
Dalam sambutan pelantikan, Sekretaris KIP Aceh mengingatkan bahwa ragam persoalan kerap terjadi di kelembagaan KIP Aceh, terutama di KIP Kabupaten/Kota saat ini. Salah satunya adalah pola relasi komisioner dengan sekretaris, terus mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan. “Kondisi perlu disikapi secara serius, karena memiliki implikasi luas terhadap kinerja lembaga,” katanya.
Persoalan hubungan kerja umumnya berakar pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban yang belum sepenuhnya berjalan, sesuai dengan mekanisme hubungan kerja yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Permasalahan yang sering muncul adalah perbedaan tafsir mengenai tugas, kewenangan komisioner dan sekretariat. Latar belakang komisioner yang direkrut secara terbuka, dengan berbagai latar belakang usia, pendidikan, kapasitas dan kapabilitasnya dalam ke-Pemiluan, dapat menyebabkan perbedaan pemahaman, terhadap tugas dan kewenangan dengan unsur sekretariat yang berasal dari PNS.
Perlu kita pahami bersama, KPU adalah lembaga nonstruktural, yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Dalam pelaksanaan fungsinya melibatkan unsur nonpemerintah dan pemerintah, yaitu anggota KPU/KIP yang berasal dari kalangan independen sebagai pengambil kebijakan dan unsur sekretariat adalah birokrat berasal dari PNS sebagai unit pendukung, “yang melaksanakan kebijakan secara operasional melalui pembagian kerja yang bersifat fungsional,” jelas Darmansyah.
Pembacaan sumpah jabatan
Ibarat dua sisi satu mata uang, hubungan komisioner dengan sekretariat tidak dapat dipisahkan. Saling melengkapi satu sama lain. Tanpa dukungan dari sekretariat, kebijakan yang telah diputuskan tidak akan optimal mencapai tujuannya sehingga akan menentukan baik-buruknya kualitas penyelenggaraan Pemilu.
Kilas Balik KPU
Dalam sejarah kelembagaan penyelanggara Pemilu di Indonesia, KPU telah mengalami transformasi dari pemilu ke pemilu termasuk juga dinamika organ sekretariat di dalamnya. Pemilu di masa Orde Baru (1971-1997) yang diatur dalam UU No.15 Tahun 1969 dilaksanakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketua oleh Menteri Dalam Negeri. Di bawah LPU ada struktur dan organ Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang bersifat adhoc di tingkat pusat, dan Panitia Pemilihan Daerah (PPD) di tingkat daerah yang melekat pada pemerintah daerah. Pascareformasi, LPU bertranformasi menjadi model campuran.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu mengatur bahwa pemilu dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri serta memiliki keanggotaan yang berasal dari unsur Parpol peserta pemilu dan pemerintahan. Sebagai pelaksana dalam pemilu, KPU membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). PPI membentuk Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), Kemudian PPD Tingkat II dengan keanggotaan yang terdiri dari unsur pemerintah dan parpol.
Pada Pemilu 2004, lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia berubah menjadi model mandiri. Melalui UU Nomor 12 Tahun 2003, keanggotaan KPU diangkat melalui proses seleksi terbuka dan berasal dari kalangan independen. Dalam model ini, kelembagaan KPU memiliki dua organ, yaitu komisioner dan sekretariat.
Pola organisasi dan tata kerja saat itu, diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2003. Dalam konteks Aceh, dinamisasi kelembagaan penyelenggara Pemilu terjadi pasca-MoU Helsinki tahun 2005, adanya pengaturan khusus nama, prosedur pengisian anggota, dan jumlah keanggotaan sebagai turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Selanjutnya pada Pemilu 2009, penataan kelembagaan KPU semakin baik melalui UU Nomor 22 Tahun 2007. Pada Pemilu 2014 dan 2019, penyelenggara Pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP semakin kuat sesuai UU Nomor 15 Tahun 2011 dan UU Nomor 7 Tahun 2017.
Darmansyah melanjutkan, secara normatif hubungan kerja anggota KPU/KIP dan sekretariat, telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2018 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi, dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota; dan PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diubah dengan PKPU Nomor 3 Tahun 2020.
Tata kerja pada prinsipnya adalah alat koordinasi dan sarana hubungan kerja yang memuat ketentuan siapa melakukan apa, kapan dilaksanakan, dan dengan siapa harus berhubungan. Tujuan dari pengaturan ini adalah agar komisioner dan sekretariat memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam melaksanakan kegiatan, berdasarkan bidang hubungan kerja yang telah ditetapkan.
“Tugas sekretariat dan jajaran staf sekretariat adalah memfasilitasi kebutuhan Anggota KPU/KIP dalam rangka menyelenggarakan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti hal ihwal administrasi, sumberdaya kepegawaian, tenaga ahli, dan anggaran,” kata Darmansyah.
Untuk menjadi catatan bersama, tugas-tugas sekretariat tidak diterjemahkan sebagai fungsi melayani semua kebutuhan, baik yang sifatnya kepentingan pribadi maupun kepentingan yang tidak sejalan dengan ketentuan dalam prosedur dan tata kerja lembaga KPU. “Karena organisasi KPU adalah hirarki dalam satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu, maka Sekretariat KPU/KIP Provinsi dan Kabupaten/Kota diamanatkan oleh undang-undang untuk membantu kerja KPU,” jelas Darmansyah mengingatkan para sekretaris yang dilantik.
Agar terjalin hubungan kerja yang harmonis dan efektif antara komisioner dan sekretariat, perlu kesamaan pada aspek tujuan, paradigma, keyakinan dan kepentingan dalam konteks kelembagaan.
Pola hubungan kerja, perlu terus dikembangkan melalui komunikasi yang intens, antara komisioner dan sekretariat, sehingga terwujudnya pola kemitraan, sama- sama merasa penting dan saling membutuhkan serta menghormati karakteristik kepemimpinan kolektif kolegial.
Kewenangan yang berbeda tidak menjadikan salah satu unsur, baik komisioner ataupun sekretariat merasa paling penting sendiri. “Demikian juga halnya dengan keberagaman latar belakang yang dimiliki oleh anggota KIP, semua harus menyatu dalam satu langkah mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan,” katanya.
Suasana pelantikan
Filosofi Kopi dan Gula
Pada kesempatan tersebut, Darmansyah mengingatkan kepada seluruh Sekretaris KIP Kabupaten/Kota se-Aceh, agar memahami seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya terkait tata kerja sekretariat. Hal ini penting, dalam rangka penguatan kinerja eksternal dan pola harmonisasi di kalangan internal, ragam ketentuan tata kerja harus dipedomani agar pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban tidak ada persoalan.
“Ke depan, banyak hal yang harus kita persiapkan dalam menyongsong perhelatan Pemilu lokal, Pilkada Aceh Tahun 2022,” katanya. Salah satunya adalah menyusun RAB Pilkada dengan berpedoman pada Keputusan KPU No. 63/HK.03.1-Kpt/01/KPU/II/2020 perihal Perubahan atas Keputusan KPU No. 1312/HK.03.1-Kpt/01/KPU/VIII/2019 tentang Standar dan Petunjuk Teknis Penyusunan Anggaran Kebutuhan Barang/Jasa dan Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Pada akhir sambutannya, Sekretaris KIP Aceh mengingatkan ‘Filosofi Kopi dan Gula’ kepada Sekretaris KIP Kabupaten Pidie dan Sekretaris KIP Kabupaten Pidie Jaya, serta serta seluruh sekretaris KIP Kabupaten/Kota di wilayah Aceh lainnya.
Filosofi itu adalah; Pertama, Jika kopi terlalu pahit, yang disalahkan adalah gula karena terlalu sedikit. Kedua, jika kopi terlalu manis yang salah juga gula, karena terlalu banyak. Terakhir, jika kadar kopi dan gulanya pas, maka yang dipuji adalah kopinya yang mantap.
“Kemana gula yang membuat kopi terasa mantap? Mari ikhlas seperti gula, yang larut tak terlihat tapi sangat bermakna,” kata Darmansyah.
Gula memberi rasa manis pada kopi, tapi orang menyebutnya kopi manis bukan kopi gula. Gula memberi rasa manis pada teh, tapi orang menyebutnya teh manis bukan teh gula. Roti manis bukan roti gula. Sirup pandan, sirup apel, sirup jambu, padahal bahannya adalah gula.
Akan tetapi, apabila berhubungan dengan penyakit, barulah gula yang disalahkan, dengan sebutan penyakit gula. “Begitulah hidup, kadang kebaikan yang kita tanam tak pernah disebut orang, tapi kesalahan akan selalu dibesar-besarkan,” sambungnya.
“Ikhlaslah seperti gula, larutlah seperti gula. Tetap semangat memberi kebaikan, tetap semangat menebar kebaikan, karena kebaikan tidak untuk disebut-sebut tapi untuk dirasakan,” tutup Darmansyah mengingatkan. []
Sekretaris KIP Aceh Rolling Jabatan Dua Sekretaris KIP Kabupaten/Kota
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, menggelar pelantikan rolling jabatan (mutasi) dua sekretaris KIP Kabupaten/Kota di Aceh. Pelantikan dan serah terima jabatan dipimpin oleh Sekretaris KIP Aceh, Drs Darmansyah, MM, di Aula KIP Aceh, Banda Aceh, Jumat 19 Juni 2020. Pelantikan dihadiri oleh para Komisioner KIP Aceh, serta pejabat di lingkungan KIP Aceh.
Mereka yang dilantik adalah Razali S,Sos, sebagai Sekretaris KIP Kabupaten Pidie. Pengangkatannya sesuai dengan Keputusan Sekjen KPU RI Nomor 303/SDM.05.5-Kpts/05/SJ/IV/2020. Sebelumnya Razali adalah Sekretaris KIP Pidie Jaya.
Selanjutnya yang dilantik adalah Iswandi, S.Sos, sebagai Sekretaris KIP Kabupaten Pidie Jaya, sesuai Keputusan Sekjen KPU RI Nomor 306/SDM.05.5-Kpts/05/SJ/IV/2020. Sebelumnya, Iswandi adalah Sekretaris KIP Pidie.
“Hanya rolling posisi jabatan di kedua KIP Kabupaten tersebut, harapan kami pejabat yang dilantik dapat bekerja dengan baik di tempat baru,” kata Darmansyah.
Dalam sambutan pelantikan, Sekretaris KIP Aceh mengingatkan bahwa ragam persoalan kerap terjadi di kelembagaan KIP Aceh, terutama di KIP Kabupaten/Kota saat ini. Salah satunya adalah pola relasi komisioner dengan sekretaris, terus mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan. “Kondisi perlu disikapi secara serius, karena memiliki implikasi luas terhadap kinerja lembaga,” katanya.
Persoalan hubungan kerja umumnya berakar pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban yang belum sepenuhnya berjalan, sesuai dengan mekanisme hubungan kerja yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Permasalahan yang sering muncul adalah perbedaan tafsir mengenai tugas, kewenangan komisioner dan sekretariat. Latar belakang komisioner yang direkrut secara terbuka, dengan berbagai latar belakang usia, pendidikan, kapasitas dan kapabilitasnya dalam ke-Pemiluan, dapat menyebabkan perbedaan pemahaman, terhadap tugas dan kewenangan dengan unsur sekretariat yang berasal dari PNS.
Perlu kita pahami bersama, KPU adalah lembaga nonstruktural, yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Dalam pelaksanaan fungsinya melibatkan unsur nonpemerintah dan pemerintah, yaitu anggota KPU/KIP yang berasal dari kalangan independen sebagai pengambil kebijakan dan unsur sekretariat adalah birokrat berasal dari PNS sebagai unit pendukung, “yang melaksanakan kebijakan secara operasional melalui pembagian kerja yang bersifat fungsional,” jelas Darmansyah.
Pembacaan sumpah jabatan
Ibarat dua sisi satu mata uang, hubungan komisioner dengan sekretariat tidak dapat dipisahkan. Saling melengkapi satu sama lain. Tanpa dukungan dari sekretariat, kebijakan yang telah diputuskan tidak akan optimal mencapai tujuannya sehingga akan menentukan baik-buruknya kualitas penyelenggaraan Pemilu.
Kilas Balik KPU
Dalam sejarah kelembagaan penyelanggara Pemilu di Indonesia, KPU telah mengalami transformasi dari pemilu ke pemilu termasuk juga dinamika organ sekretariat di dalamnya. Pemilu di masa Orde Baru (1971-1997) yang diatur dalam UU No.15 Tahun 1969 dilaksanakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketua oleh Menteri Dalam Negeri. Di bawah LPU ada struktur dan organ Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang bersifat adhoc di tingkat pusat, dan Panitia Pemilihan Daerah (PPD) di tingkat daerah yang melekat pada pemerintah daerah. Pascareformasi, LPU bertranformasi menjadi model campuran.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu mengatur bahwa pemilu dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri serta memiliki keanggotaan yang berasal dari unsur Parpol peserta pemilu dan pemerintahan. Sebagai pelaksana dalam pemilu, KPU membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). PPI membentuk Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), Kemudian PPD Tingkat II dengan keanggotaan yang terdiri dari unsur pemerintah dan parpol.
Pada Pemilu 2004, lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia berubah menjadi model mandiri. Melalui UU Nomor 12 Tahun 2003, keanggotaan KPU diangkat melalui proses seleksi terbuka dan berasal dari kalangan independen. Dalam model ini, kelembagaan KPU memiliki dua organ, yaitu komisioner dan sekretariat.
Pola organisasi dan tata kerja saat itu, diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2003. Dalam konteks Aceh, dinamisasi kelembagaan penyelenggara Pemilu terjadi pasca-MoU Helsinki tahun 2005, adanya pengaturan khusus nama, prosedur pengisian anggota, dan jumlah keanggotaan sebagai turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Selanjutnya pada Pemilu 2009, penataan kelembagaan KPU semakin baik melalui UU Nomor 22 Tahun 2007. Pada Pemilu 2014 dan 2019, penyelenggara Pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP semakin kuat sesuai UU Nomor 15 Tahun 2011 dan UU Nomor 7 Tahun 2017.
Darmansyah melanjutkan, secara normatif hubungan kerja anggota KPU/KIP dan sekretariat, telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2018 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi, dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota; dan PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diubah dengan PKPU Nomor 3 Tahun 2020.
Tata kerja pada prinsipnya adalah alat koordinasi dan sarana hubungan kerja yang memuat ketentuan siapa melakukan apa, kapan dilaksanakan, dan dengan siapa harus berhubungan. Tujuan dari pengaturan ini adalah agar komisioner dan sekretariat memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas dalam melaksanakan kegiatan, berdasarkan bidang hubungan kerja yang telah ditetapkan.
“Tugas sekretariat dan jajaran staf sekretariat adalah memfasilitasi kebutuhan Anggota KPU/KIP dalam rangka menyelenggarakan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti hal ihwal administrasi, sumberdaya kepegawaian, tenaga ahli, dan anggaran,” kata Darmansyah.
Untuk menjadi catatan bersama, tugas-tugas sekretariat tidak diterjemahkan sebagai fungsi melayani semua kebutuhan, baik yang sifatnya kepentingan pribadi maupun kepentingan yang tidak sejalan dengan ketentuan dalam prosedur dan tata kerja lembaga KPU. “Karena organisasi KPU adalah hirarki dalam satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu, maka Sekretariat KPU/KIP Provinsi dan Kabupaten/Kota diamanatkan oleh undang-undang untuk membantu kerja KPU,” jelas Darmansyah mengingatkan para sekretaris yang dilantik.
Agar terjalin hubungan kerja yang harmonis dan efektif antara komisioner dan sekretariat, perlu kesamaan pada aspek tujuan, paradigma, keyakinan dan kepentingan dalam konteks kelembagaan.
Pola hubungan kerja, perlu terus dikembangkan melalui komunikasi yang intens, antara komisioner dan sekretariat, sehingga terwujudnya pola kemitraan, sama- sama merasa penting dan saling membutuhkan serta menghormati karakteristik kepemimpinan kolektif kolegial.
Kewenangan yang berbeda tidak menjadikan salah satu unsur, baik komisioner ataupun sekretariat merasa paling penting sendiri. “Demikian juga halnya dengan keberagaman latar belakang yang dimiliki oleh anggota KIP, semua harus menyatu dalam satu langkah mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan,” katanya.
Suasana pelantikan
Filosofi Kopi dan Gula
Pada kesempatan tersebut, Darmansyah mengingatkan kepada seluruh Sekretaris KIP Kabupaten/Kota se-Aceh, agar memahami seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya terkait tata kerja sekretariat. Hal ini penting, dalam rangka penguatan kinerja eksternal dan pola harmonisasi di kalangan internal, ragam ketentuan tata kerja harus dipedomani agar pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban tidak ada persoalan.
“Ke depan, banyak hal yang harus kita persiapkan dalam menyongsong perhelatan Pemilu lokal, Pilkada Aceh Tahun 2022,” katanya. Salah satunya adalah menyusun RAB Pilkada dengan berpedoman pada Keputusan KPU No. 63/HK.03.1-Kpt/01/KPU/II/2020 perihal Perubahan atas Keputusan KPU No. 1312/HK.03.1-Kpt/01/KPU/VIII/2019 tentang Standar dan Petunjuk Teknis Penyusunan Anggaran Kebutuhan Barang/Jasa dan Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Pada akhir sambutannya, Sekretaris KIP Aceh mengingatkan ‘Filosofi Kopi dan Gula’ kepada Sekretaris KIP Kabupaten Pidie dan Sekretaris KIP Kabupaten Pidie Jaya, serta serta seluruh sekretaris KIP Kabupaten/Kota di wilayah Aceh lainnya.
Filosofi itu adalah; Pertama, Jika kopi terlalu pahit, yang disalahkan adalah gula karena terlalu sedikit. Kedua, jika kopi terlalu manis yang salah juga gula, karena terlalu banyak. Terakhir, jika kadar kopi dan gulanya pas, maka yang dipuji adalah kopinya yang mantap.
“Kemana gula yang membuat kopi terasa mantap? Mari ikhlas seperti gula, yang larut tak terlihat tapi sangat bermakna,” kata Darmansyah.
Gula memberi rasa manis pada kopi, tapi orang menyebutnya kopi manis bukan kopi gula. Gula memberi rasa manis pada teh, tapi orang menyebutnya teh manis bukan teh gula. Roti manis bukan roti gula. Sirup pandan, sirup apel, sirup jambu, padahal bahannya adalah gula.
Akan tetapi, apabila berhubungan dengan penyakit, barulah gula yang disalahkan, dengan sebutan penyakit gula. “Begitulah hidup, kadang kebaikan yang kita tanam tak pernah disebut orang, tapi kesalahan akan selalu dibesar-besarkan,” sambungnya.
“Ikhlaslah seperti gula, larutlah seperti gula. Tetap semangat memberi kebaikan, tetap semangat menebar kebaikan, karena kebaikan tidak untuk disebut-sebut tapi untuk dirasakan,” tutup Darmansyah mengingatkan. []
Foto bersama seusai pelantikan