Banda Aceh – Salah satu komunitas pemantau Pilkada diluncurkan pada Kamis, 3 November 2016, sore di Student Kupi, Banda Aceh. Komunitas itu bernama Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat Aceh (PAKAR).
Peluncuran PAKAR yang anggotanya didominasi oleh mahasiswa itu dibarengi dengan diskusi bertajuk Bagaimana Kontrol dan Peran Elemen Sipil dalam Mengawasi Tindak Kecurangan di Pilkada Aceh 2017.
Komisioner Bidang Hukum dan Pengawasan KIP Aceh Junaidi yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi mengatakan, kecurangan dalam Pilkada selalu ada, pelakunya bisa dari peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.
Karenanya, netralitas penyelenggara pemilu menjadi syarat mutlak bagi pergelaran pemilihan kepala daerah yang berintegritas. “Jadi, penyelenggara Pilkada harus dipantau,” kata Junaidi.
Pemantau juga harus memantau peserta Pilkada, seperti akun media sosial calon kepala daerah dan penanggung jawab akun, supaya jika terjadi kampanye yang melanggar hukum bisa ditindak lanjut.
Ia berharap pemantau tidak hanya panas saat awal-awal Pilkada saja, namun juga tetap giat memantau sampai pergelaran Pilkada selesai. Hal itu agar peserta maupun penyelenggara Pilkada segan melakukan pelanggaran serta menumbuhkan transparansi.
Ketika pemungutan suara pada 15 Februari 2017 misalnya, harus terus dipantau agar berlangsung adil dan damai. Usai pemungutan, jika KPPS tidak memberikan salinan hasil pemungutan suara pada hari pemungutan kepada saksi, KPPS tersebut bisa di pidana.
“PPS juga wajib umumkan hasil pemungutan suara di tempat yang layak di desa masing-masing. Kalau PPS tidak umumkan hasil, bisa ditindak pidana,” kata Junaidi.
Aturan itu dibuat KIP sebagai bagian dari mengelola transparansi, agar semua warga tahu berapa suara yang diperoleh pasangan calon.
Hal yang tidak kalah penting, sebut Junaidi, pemantau memberi pendidikan politik kepada pemilih pemula. [Hadi | MC KIP Aceh]
Pemantau Pilkada Jangan Hanya Panas di Awal
Banda Aceh – Salah satu komunitas pemantau Pilkada diluncurkan pada Kamis, 3 November 2016, sore di Student Kupi, Banda Aceh. Komunitas itu bernama Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat Aceh (PAKAR).
Peluncuran PAKAR yang anggotanya didominasi oleh mahasiswa itu dibarengi dengan diskusi bertajuk Bagaimana Kontrol dan Peran Elemen Sipil dalam Mengawasi Tindak Kecurangan di Pilkada Aceh 2017.
Komisioner Bidang Hukum dan Pengawasan KIP Aceh Junaidi yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi mengatakan, kecurangan dalam Pilkada selalu ada, pelakunya bisa dari peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.
Karenanya, netralitas penyelenggara pemilu menjadi syarat mutlak bagi pergelaran pemilihan kepala daerah yang berintegritas. “Jadi, penyelenggara Pilkada harus dipantau,” kata Junaidi.
Pemantau juga harus memantau peserta Pilkada, seperti akun media sosial calon kepala daerah dan penanggung jawab akun, supaya jika terjadi kampanye yang melanggar hukum bisa ditindak lanjut.
Ia berharap pemantau tidak hanya panas saat awal-awal Pilkada saja, namun juga tetap giat memantau sampai pergelaran Pilkada selesai. Hal itu agar peserta maupun penyelenggara Pilkada segan melakukan pelanggaran serta menumbuhkan transparansi.
Ketika pemungutan suara pada 15 Februari 2017 misalnya, harus terus dipantau agar berlangsung adil dan damai. Usai pemungutan, jika KPPS tidak memberikan salinan hasil pemungutan suara pada hari pemungutan kepada saksi, KPPS tersebut bisa di pidana.
“PPS juga wajib umumkan hasil pemungutan suara di tempat yang layak di desa masing-masing. Kalau PPS tidak umumkan hasil, bisa ditindak pidana,” kata Junaidi.
Aturan itu dibuat KIP sebagai bagian dari mengelola transparansi, agar semua warga tahu berapa suara yang diperoleh pasangan calon.
Hal yang tidak kalah penting, sebut Junaidi, pemantau memberi pendidikan politik kepada pemilih pemula. [Hadi | MC KIP Aceh]