Banda Aceh – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyambangi Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Selasa 13 Desember 2016. Pertemuan yang berlangsung di Media Center KIP Aceh itu mendiskusikan beberapa hal.
Dalam pertemuan itu, Komisioner Komnas HAM RI, Otto Nur Abdullah meminta gambaran terkait pemilih marginal dan titik yang berpotensi konflik pada Pilkada di Aceh.
Ketua KIP Aceh, Ridwan Hadi mengatakan, pihaknya berusaha semaksimal mungkin melakukan kegiatan sosialisasi kepada seluruh pemilih dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap suatu kelompok.
Diantara sosialisasi kelompok marginal yang dilakukan KIP ialah kepada penyandang disabilitas, pemilih pemula, dan pemilih non muslim. “Tentu ini tidak hanya sekali,” ujar Ridwan kepada pihak Komnas HAM RI.
Selain itu, pihaknya juga mengimbau kepada pasangan calon untuk lebih menitik-beratkan pendidikan pemilih dan politik kepada masyarakat, agar partisipasi masyarakat dalam pemilihan juga meningkat.
Kerja sama dengan pihak terkait dan stakeholder untuk mendorong keterlibatan publik secara keseluruhan dalam Pilkada juga dilakukan. Namun Ridwan mengakui hal itu agak sulit karena harus mencari stakeholder yang tidak berafiliasi dengan partai politik, baik secara lembaga maupun individu. “Semangat KIP Aceh, kami berupaya maksimal untuk sosialisasi pada pemilih, termasuk marginal,” tuturnya.
Ada bermacam hal yang sebabkan konflik, misalnya pada desain atribut kampanye pasangan calon, tidak boleh menyerupai partai yang tidak mendukung calon tersebut. Untuk selesaikan konflik, KIP Aceh mengutamakan koordinasi dan komunikasi.
Calon petahana, seperti kata Otto, mungkin dapat memunculkan potensi konflik. Ada dua calon petahana tingkat provinsi di Aceh, yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Pada 12 Februari 2017 atau tiga hari sebelum pemilihan kepala daerah, calon petahana kembali menjabat. “Mungkin saja kondisi ini berpotensi terjadi pada pejabat struktural. Ini menjadi perhitungan kita,” sebut Ridwan Hadi.
Terkait pemilih di Lembaga Permasyarakatan (LP), sudah didata oleh dinas terkait. Namun, karena peraturan yang mengharuskan pemilih memiliki KTP Elektronik, akan menyulitkan penghuni LP menggunakan hak konstitusinya.
Komisioner Bidang Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Junaidi bercerita, di tahun 2012, di LP Pidie hampir terjadi kerusuhan karena dua orang tidak bisa memilih. Karenanya, persoalan pemilih di LP ia nilai riskan.
Regulasi mengenai pemilih harus mempunyai KTP Elektronik juga lahir di tengah jalan. “Kita harus mendorong Bawaslu dan KPU RI melahirkan regulasi untuk mencari solusi mengenai masalah ini.”
Dalam rapat koordinasi tersebut, hadir lima Komisioner KIP Aceh, yaitu Ridwan Hadi, Junaidi, Hendra Fauzi, Muhammad, dan Basri M. Sabi, serta Sekretaris KIP Aceh, Darmansyah. Sementara dari Komnas HAM RI, hadir empat perwakilannya. [Hadi | MC KIP Aceh]
Komnas HAM Tanya Potensi Konflik Jelang Pilkada
Banda Aceh – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI menyambangi Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Selasa 13 Desember 2016. Pertemuan yang berlangsung di Media Center KIP Aceh itu mendiskusikan beberapa hal.
Dalam pertemuan itu, Komisioner Komnas HAM RI, Otto Nur Abdullah meminta gambaran terkait pemilih marginal dan titik yang berpotensi konflik pada Pilkada di Aceh.
Ketua KIP Aceh, Ridwan Hadi mengatakan, pihaknya berusaha semaksimal mungkin melakukan kegiatan sosialisasi kepada seluruh pemilih dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap suatu kelompok.
Diantara sosialisasi kelompok marginal yang dilakukan KIP ialah kepada penyandang disabilitas, pemilih pemula, dan pemilih non muslim. “Tentu ini tidak hanya sekali,” ujar Ridwan kepada pihak Komnas HAM RI.
Selain itu, pihaknya juga mengimbau kepada pasangan calon untuk lebih menitik-beratkan pendidikan pemilih dan politik kepada masyarakat, agar partisipasi masyarakat dalam pemilihan juga meningkat.
Kerja sama dengan pihak terkait dan stakeholder untuk mendorong keterlibatan publik secara keseluruhan dalam Pilkada juga dilakukan. Namun Ridwan mengakui hal itu agak sulit karena harus mencari stakeholder yang tidak berafiliasi dengan partai politik, baik secara lembaga maupun individu. “Semangat KIP Aceh, kami berupaya maksimal untuk sosialisasi pada pemilih, termasuk marginal,” tuturnya.
Ada bermacam hal yang sebabkan konflik, misalnya pada desain atribut kampanye pasangan calon, tidak boleh menyerupai partai yang tidak mendukung calon tersebut. Untuk selesaikan konflik, KIP Aceh mengutamakan koordinasi dan komunikasi.
Calon petahana, seperti kata Otto, mungkin dapat memunculkan potensi konflik. Ada dua calon petahana tingkat provinsi di Aceh, yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Pada 12 Februari 2017 atau tiga hari sebelum pemilihan kepala daerah, calon petahana kembali menjabat. “Mungkin saja kondisi ini berpotensi terjadi pada pejabat struktural. Ini menjadi perhitungan kita,” sebut Ridwan Hadi.
Terkait pemilih di Lembaga Permasyarakatan (LP), sudah didata oleh dinas terkait. Namun, karena peraturan yang mengharuskan pemilih memiliki KTP Elektronik, akan menyulitkan penghuni LP menggunakan hak konstitusinya.
Komisioner Bidang Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Junaidi bercerita, di tahun 2012, di LP Pidie hampir terjadi kerusuhan karena dua orang tidak bisa memilih. Karenanya, persoalan pemilih di LP ia nilai riskan.
Regulasi mengenai pemilih harus mempunyai KTP Elektronik juga lahir di tengah jalan. “Kita harus mendorong Bawaslu dan KPU RI melahirkan regulasi untuk mencari solusi mengenai masalah ini.”
Dalam rapat koordinasi tersebut, hadir lima Komisioner KIP Aceh, yaitu Ridwan Hadi, Junaidi, Hendra Fauzi, Muhammad, dan Basri M. Sabi, serta Sekretaris KIP Aceh, Darmansyah. Sementara dari Komnas HAM RI, hadir empat perwakilannya. [Hadi | MC KIP Aceh]